Puncak Ilmu Kejawen
Ilmu
“Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah puncak Ilmu
Kejawen. “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” artinya; wejangan
berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di
dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan
gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer”
atau sukma sejati, sehingga orang yang mendapat wejangan itu akan
mendapat kesempurnaan. Secara harfiah arti dari “Sastra Jendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran,
Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating
= Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau lambang
keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus
dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya
dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan
menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat
adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia
untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu
Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi
munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan
rakyat.
Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya
Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno. Tetapi
baru terdapat pada abad ke 19 atau tepatnya 1820. Naskah dapat
ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam
lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna
Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26;
Selain
daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya
wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan
“Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang
dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh
seorangpun mengucapkannya karena mendapat laknat dari Dewa Agung
walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung
sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang
kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun
yang disebut Sastra Jendra Yu Ningrat adalah pangruwat segala segala
sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada
duanya, sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra).
Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan.
Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada dihutan belantara
sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Batara,
matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan
manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui
arti dari Sastra Jendra nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang
mulia…
Ajaran
“Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi yang
mistik, angker gaib, kalau salah menggunakan ajaran ini bisa mendapat
malapetaka yang besar. Seperti pernah diungkap oleh Ki Dalang Narto
Sabdo dalam lakon wayang Lahirnya Dasamuka. Kisah ceritanya sebagai
berikut;
Begawan
Wisrawa mempunyai seorang anak bernama Prabu Donorejo, yang ingin
mengawini seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat berat,
yakni;
- Bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti.
- Bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”
Prabu
Donorejo tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan ayahandanya,
Begawan Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat tersebut. Maka
Dewi Sukesi dapat diboyong Begawan Wisrawa, untuk diserahkan kepada
anaknya Prabu Donorejo.
Selama
perjalanan membawa pulang Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa jatuh hati
kepada Dewi Sukesi demikian juga Dewi Sukesi hatinya terpikat kepada
Begawan Wisrawa.
“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito,” kisah Ki Dalang.
Begawan
Wisrawa telah melanggar ngelmu “Sastra Jendra”, beliau tidak kuat
menahan nafsu seks dengan Dewi Sukesi. Akibat dari dosa-dosanya maka
lahirlah anak yang bukan manusia tetapi berupa raksasa yang menakutkan,
yakni;
- Dosomuko
- Kumbokarno
- Sarpokenoko
- Gunawan Wibisono
Setelah
anak pertama lahir, Begawan Wisrawa mengakui akan kesalahannya, sebagai
penebus dosanya beliau bertapa atau tirakat tidak henti-hentinya siang
malam. Berkat gentur tapanya, maka lahir anak kedua, ketiga dan keempat
yang semakin sempurna.Laku Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa
yang tiada hentinya, akhirnya Begawan Wisrawa punya anak-anak yang
semakin sempurna ini menjadi simbol bahwa untuk mencapai Tuhan harus
melalui empat tahapan yakni; Syariat, Tarikat, Hakekat, Makrifat.
Lakon ini mengingatkan kita bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus melalui tahap atau tataran-tataran yakni;
1. Syariat; dalam falsafah Jawa syariat memiliki makna sepadan dengan Sembah Rogo.
2. Tarikat; dalam falsafah Jawa maknanya adalah Sembah Kalbu.
3. Hakikat; dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).
4. Makrifat; merupakan tataran tertinggi yakni Sembah Rasa atau sir (sirullah).
Pun
diceritakan dalam kisah Dewa Ruci, di mana diceritakan perjalanan Bima
(mahluk Tuhan) mencari “air kehidupan” yakni sejatinya hidup. Air
kehidupan atau tirta maya, dalam bahasa Arab disebut sajaratul makrifat. Bima harus melalui berbagai rintangan baru kemudia bertemu dengan Dewa Ruci (Dzat Tuhan) untuk mendapatkan “ngelmu”.
Bima
yang tidak lain adalah Wrekudara/AryaBima, masuk tubuh Dewa Ruci
menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah
ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa Bima bertanya :”Tuan
ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk,
kelingking pun tidak mungkin masuk”. Dewa Ruci tersenyum dan berkata
lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan
gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam
tubuhku”.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Bima masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri.
Dan
tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan
selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang.
Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui
lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada
empat macam benda yang tampak oleh Bima, yaitu hitam, merah kuning dan
putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:”Yang pertama kau lihat cahaya, menyala
tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu,
yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun
kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang
jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal,
mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna
merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Yang
hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan
menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik,
segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar
kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih
berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu,
perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah
penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu
Bima melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk
zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan
yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya,
memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan
tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal,
hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia
ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri
tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di
tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan
menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa
daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma,
ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan
Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila
mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah
yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang
keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak
mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan
bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana,
keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan
akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Bila
seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”
berarti harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan
haruslah dapat menguraikan tentang sejatining urip (hidup), sejatining Panembah (pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga innalillahi wainna illaihi rojiuun, kembali ke sisi Tuhan YME dengan tata cara hidup layak untuk mencapai budi suci dan menguasai panca indera serta hawa nafsu untuk mendapatkan tuntunan Sang Guru Sejati.
Uraian
tersebut dapat menjelaskan bahwa sasaran utama mengetahui “Sastra
Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah untuk mencapai Kasampurnaning Pati, dalam istilah RNg Ronggowarsito disebut Kasidaning Parasadya atau pati prasida, bukan sekedar pati patitis atau pati pitaka. “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” seolah menjadi jalan tol menuju pati prasida.
Bagi
mereka yang mengamalkan “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”
dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau ilham atau wangsit
(wahyu) atau berupa “senjata” yang berupa rapal. Dengan rapal atau
mantra orang akan memahami isi Endra Loka, yakni pintu gerbang rasa
sejati, yang nilainya sama dengan sejatinya Dzat YME dan bersifat gaib.
Manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya kemudian menyatukan
diri ke dalam gelombang Dzat Yang Maha Kuasa. Ini diistilahkan sebagai
wujud jumbuhing/manunggaling kawula lan Gusti, atau warangka manjing curiga.
Tampak dalam kisah Dewa Ruci, pada saat bertemunya Bima dengan Dewa
Ruci sebagai lambang Tuhan YME. Saat itu pula Bima menemukan segala
sesuatu di dalam dirinya sendiri.
Itulah
inti sari dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” sebagai
Pungkas-pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu pengetahuan
atau tingkat setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia
atau seorang sufi. Karena ilmu yang diperoleh dari makrifat ini lebih
tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan
akal.
Dalam
dunia pewayangan lakon “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”
dimaksudkan untuk lambang membabarkan wejangan sedulur papat lima
pancer. Yang menjadi tokoh atau pelaku utama dalam lakon ini adalah sbb;
Begawan
Wisrawa menjadi lambang guru yang memberi wejangan ngelmu Sastrajendra
kepada Dewi Sukesi. Ramawijaya sebagai penjelmaan Wisnu (Kayun;
Yang Hidup), yang memberi pengaruh kebaikan terhadap Gunawan Wibisono
(nafsul mutmainah), Keduanya sebagai lambang dari wujud jiwa dan sukma
yang disebut Pancer. Karena wejangan yang diberikan oleh Begawan Wisrawa
kepada Dewi Sukesi ini bersifat sakral yang tidak semua orang boleh
menerima, maka akhirnya mendapat kutukan Dewa kepada anak-anaknya.
- Dasamuka (raksasa) yang mempunyai perangai jahat, bengis, angkara murka, sebagai simbol dari nafsu amarah.
- Kumbakarna (raksasa) yang mempunyai karakter raksasa yakni bodoh, tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka. Kumbakarno menjadi lambang dari nafsu lauwamah.
- Sarpokenoko (raksasa setengah manusia) memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah.
- Gunawan Wibisono (manusia seutuhnya); sebagai anak bungsu yang mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah dan mengabdi kepada Romo untuk membela kebenaran. Ia menjadi perlambang dari nafsul mutmainah.
Gambaran
ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam
pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna
manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua
seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda
memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri
Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara
mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh
Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi
Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan
Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara
Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma
kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan
di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan
Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki
taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.
Melalui
ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih
dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang
berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi
dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci
disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada
disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya.
Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan
kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud.
Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau
malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia
memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “ khalifah “ (wakil Tuhan di
dunia).
Namun
ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang
satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu.
Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.
Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.
Sifat Manusia Terpilih
Sebelum
memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra,
para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung,
siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya.
“Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak
para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi
bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya.
Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita
semua”
Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.
Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.
Seolah
menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun
mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa
bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah
tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan
mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka
menumpahkan darah“. Serentak para dewata menunduk malu “ Paduka lebih
mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Kemudian, Betara Guru turun ke
mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada
Begawan Wisrawa.
“
Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan
memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat
manusia”
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.
Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.
Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.
Demikian
lah pemaparan tentang puncak ilmu kejawen yang adiluhung, tidak
bersifat primordial, tetapi bersifat universal, berlaku bagi seluruh
umat manusia di muka bumi, manusia sebagai mahluk ciptaan Gusti Kang
Maha Wisesa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang Maha Tunggal. Janganlah
terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang digunakan dalam tulisan
ini. Namun ambilah hikmah, hakikat, nilai yang bersifat metafisis dan
universe dari ajaran-ajaran di atas. Semoga bermanfaat.
Semoga para pembaca yang budiman diantara orang-orang yang terpilih dan pinilih untuk meraih ilmu sejatinya hidup.
Salam
Sabdalangit